loading...

Sunday, January 15, 2017

Praktikum Produksi Benih

LAPORAN PRAKTIKUM
PRODUKSI BENIH (AGH 551)

PENGARUH TEHNIK INVIGORASI TERHADAP PRODUKSI BENIH KEDELAI
(Glycine max (L.) Merrill)


Oleh:
Windi Triostin              A261160071
Zulfikar Saimi              A251150011

Dosen:
Prof. Ir. Memen Surahman, M.Sc. Agr
Dr. Ir. Abdul Qadir, M.Si
Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc
Chandra Budiman, SP, M.Si
Gani Jawak, SP, MSi.






PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI BENIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017

PRAKATA

Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat-Nya penulis telah dapat menyelesaikan laporan praktikum Produksi benih, dengan judul pengaruh tehnik invigorasi terhadap tingkat produksi benih kedelai (glycine max (l.) Merrill). Selawat beriring salam kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan yang mengajarkan kita berakhlak mulia dan santun.
Laporan ini dibuat berdasarkan hasil pengamatan praktikum dan referensi dari beberapa teks book. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing praktikum dan teman teman peerta praktikum yang telah membantu pelaksanaan praktikum sampai laporan praktikum ini dapat disusun. Mudah-mudahan laporan praktikum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. 



Bogor, 15 Januari 2017
  

                                                           Penulis



PENDAHULUAN
Kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perbaikan pendapatan per kapita. Oleh karena itu, di perlukan suplai kedelai tambahan yang harus diimpor karena produksi dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan tersebut. Produksi kedelai nasional pada tahun 2012 (ATAP) sebesar 843.15 ribu ton biji kering atau mengalami penurunan sebesar 8,13 ribu ton (0,96 persen) dibandingkan tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2013 (ARAM I) produksi kedelai diperkirakan 847.16 ribu ton biji kering atau mengalami peningkatan sebesar 4,00 ribu ton (0,47 persen) dibandingkan tahun 2012. Peningkatan produksi ini diperkirakan terjadi karena kenaikan luas panen seluas 3,94 ribu hektar (0,69 persen) meskipun produktivitas diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0,03 kuintal/hektar (0,20 persen) (ATAP dan ARAM I BPS, 2013).
Dalam rangka revitalisasi pertanian yang bertujuan agar tercipta swasembada kedelai pada tahun 2015 perlu adanya peningkatan produksi dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk peningkatan produksi kedelai adalah melaui perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan kualitas produk, perlakuan sebelum tanam serta upaya-upaya lain yang mendukung berbagai pengembangan kedelai Indonesia. Namun dengan perluasan areal tanam memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah kurangnya luas lahan pertanian potensial, karena digunakan untuk industri, pemukiman dan keperluan non pertanian lainnya hingga mencapai 47 ribu hektar per tahun. Maka pemanfaatan lahan marginal seperti lahan di bawah tanaman usia muda menjadi alternatif pilihan (Nasution, 2004). Disamping itu tehnik lain yang dapat dilakuakan adalah dengan cara perlakuan benih sebelum tanam adalah invigorasi, hal ini dilakukan untuk menambah performa benih saat tumbuh dilapang.
Tehnik perlakuan invigorasi telah banyak digunakan untuk meningkatkan vigor benih, dimana pengaruh tehnik tersebut terlihat sampai fase vegetatif bahkan dapat meningkatkan hasil, sebagaimana hasil penelitian pada benih padi yang dilaporkan Farooq et al. (2006a dan b). Hasil padi dari benih yang mendapat perlakuan invigorasi dengan teknik osmohardening dengan CaCl2 memberikan respon positif terhadap produksi (Farooq et al 2007). Diantara perlakuan invogorasi, salah satu perlakuan invigorasi benih yang telah terbukti efektif adalah matriconditioning. Keberhasilan matriconditioning dengan hidrasi pra perkecambahan guna meningkatkan viabilitas dan vigor benih telah banyak diteliti (Ilyas 2006). Matriconditioning bahkan dapat diintegrasikan dan memberikan keuntungan lebih pada aplikasi zat pengatur tumbuh (Ilyas et al 2002), fungisida dan biofungisida (Ilyas 2006).
Ketersediaan benih bermutu menjadi hal yang penting untuk kesinambungan produksi tanaman. Penggunaan benih bermutu rendah menyebabkan daya adaptasi tanaman di lapang menjadi berkurang, dan berakibat pada produksi tanaman yang rendah (Prabha dan Chauhan, 2014). Mutu benih dapat mengalami kemunduran seiring dengan berjalannya waktu dan tidak dapat dikembalikan (Jyoti dan Malik, 2013). Benih kedelai hitam termasuk benih orthodok yang cepat mengalami kemunduran terutama jika kondisi lingkungan simpan kurang menguntungkan (sub optimum). Hal ini disebabkan karena kandungan protein yang dimiliki relatif besar, mengakibatkan kadar air benih cepat meningkat. Protein yang bersifat higroskopis, menyebabkan benih mengabsorpsi air lebih banyak (Tatipata, 2008). Rusmin (2007) berpendapat, solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu benih yang telah mengalami kemunduran ialah melalui invigorasi. Invigorasi ialah suatu perlakuan fisik atau kimia untuk meningkatkan atau memperbaiki mutu benih yang telah mengalami kemunduran. Salah satu teknik invigorasi yang dapat dilakukan adalah osmoconditioning.
Berdasarkan pernasalahan dan studi kasus diatas maka perlu dilakukan tehnik invigorasi terhadap laju pertumbuhan dan produksi hasil benih kedelai ini, agar kedelai dapat ditingkatkan terus potensi hasilnya kedepan. Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan invigorasi terhadap performa pertumbuhan dan produksi benih kedelai. Diduga bahwa perlakuan invigorasi memberikan respon tingkat pertumbuhan dan produksi yang baik terhadap benih kedelai.

TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak-semak rendah, tumbuh tegak dengan panjang batang antara 100-200 cm. Akar kedelai bisa membentuk bintil akar yang berbentuk bulat atau tidak beraturan yang merupakan koloni bakteri Rhizobium jopanicum.
            Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1984 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merrill. Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut (Adisarwanto 2005):

Divisio             : Spermatophyta
Classis             : Dicotyledoneae
Ordo                : Polypetales
Familia : Leguminosae
Genus              : Glycine
Species:           : Glycine max (L.) Merril

Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan merupakan tanaman semusim. Morfologi tanaman didukung oleh komponen umumnya yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji sehingga pertumbuhannya bisa optimal (Anonymous, 2009).
Tipe pertumbuhan kedelai ada 2 yaitu tipe ujung melilit batang dan tipe batang tegak. Kedelai yang bertipe pertumbuhan ujung melilit batang ujung batangnya tidak berakhir dengan rangkaian bunga, jadi ujung batang atau cabang-cabangnya tumbuh melilit. Sedangkan kedelai yang bertipe pertumbuhan batang tegak, ujung batangnya berakhir dengan rangkaian bunga, namun ujung batang atau cabang-cabangnya tumbuh tanpa melilit, tetapi lurus tegak keatas (AAK 1991).
Susunan akar kedelai pada umumnya sangat baik. Pertumbuhan akar tunggang lurus masuk ke dalam tanah dan mempunyai banyak akar cabang (Anonymous, 1989). Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar mesofil. Calon akar tersebut kemudian tumbuh dengan cepat ke dalam tanah, sedangkan kotiledon yang terdiri dari dua keping akan muncul ke permukaan tanah akibat pertumbuhan yang cepat dari hipokotil (Adisarwanto, 2006).
Sistim perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu, kedelai juga seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi (Adisarwanto 2006).
Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistim pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto 2006).
Daun kedelai merupakan daun majemuk yang terdiri dari tiga helai anak daun dan umumnya berwarna hijau kekuning-kuningan. Bentuk daun ada yang oval, juga ada yang segitiga. Warna dan bentuk daun kedelai ini tergantung pada varietas masing-masing. Pada saat tanaman kedelai itu sudah tua, maka daun kedelai itu sudah menguning, maka daun-daunnya mulai rontok (AAK 1991).
Tanaman kedelai memiliki bunga sempurna (hermaprodit), yakni pada tiap kuntum bunga terdapat alat kelamin betina (putik) dan kelamin jantan (benangsari) (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Bunga kedelai mempunyai 10 buah benang sari. Sembilan buah diantaranya bersatu pada bagian pangkal dan membentuk seludang yang mengelilingi putik. Sedangkan benang sari yang kesepuluh terpisah pada bagian pangkalnya dan seolah-olah menjadi penutup seludang. Bila putik di belah, didalamnya terdapat tiga bakal biji (AAK 1991).
Penyerbukannya termasuk penyerbukan sendiri dengan tepung sari sendiri karena pembuahan terjadi sebelum bunga mekar (terbuka). Pada saat terjadi persilangan (hibridisasi), mahkota daun dan benang sari dibuang (kastrasi/mengebiri), hanya putiknya saja yang ditinggalkan (AAK 1991).
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7 - 10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1 - 10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak (Anonymous 2009).
Warna biji berbeda-beda, perbedaan warna biji dapat dilihat pada belahan biji ataupun pada selaput biji, biasanya kuning atau hijau transparan (tembus cahaya). Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan embrio. Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam atau putih. Pada ujung hitam terdapat mikrofil, berupa lubang kecil yang terbentuk pada saat proses pembentukan biji (Adisarwanto 2006).
Semua varietas kedelai mempunyai bulu pada batang, cabang, daun dan polong-polongnya. Lebat atau tidaknya bulu serta kasar atau halusnya bulu tergantung dari varietas masing-masing. Begitu pula warna bulu berbeda-beda, ada yang berwarna coklat dan ada pula yang putih kehijauan (AAK 1991).
Komoditas kacang-kacangan potensial menghadapi kendala penelitian dan pengembangan yang menghambat budidaya diberbagai wilayah. Sehingga diperlukan identifikasi secara jelas faktor-faktor kendala utama, yang mencakup ekologi, produksi, sosial ekonomi, yang menjadi penghambat utama bagi budidaya, pemanfaatan dan penelitian lebih lanjut (Winarto et al 2002).

SYARAT TUMBUH
Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30 0C (Adisarwanto, 2006). Curah hujan berkisar antara 150 - 200 mm untuk bulan pertama, dengan lama penyinaran matahari 12 jam pada hari pertama penanaman, dan kelembaban rata-rata (RH) 65 % (Fachruddin, 2000). Untuk mendapatkan hasil yang optimal, tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100 - 200 mm pada bulan pertama (Purwono dan Purnamawati 2007).                      
Tanaman kedelai menghendaki tanah yang subur, gembur, dan kaya akan humus atau bahan organik (Suprapto 1999). Nilai pH ideal bagi pertumbuhan kedelai adalah 6,0 - 6,8. Apabila pH diatas 7,0 tanaman kedelai akan mengalami klorosis sehingga tanaman menjadi kerdil dan daunnya menguning (Fachruddin 2000).
Kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asal drainase dan aerasi tanah cukup baik. Tanah yang cocok yaitu alluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Pada tanah podsolik merah kuning dan tanah yang mengandung banyak pasir kwarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik, karena mengandung masam kecuali bila diberi tambahan pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang cukup (AAK 1991).

DESKRIPSI VARIETAS KEDELAI ANJASMORO
Nama varietas
:
Anjasmoro
Kategori
:
Varietas ungggul nasional (released variety)
SK
:
537/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober tahun 2001
Tahun
:
2001
Tetua

Seleksi massa dari populasi galur murni MANSURIA
Potensi hasil
:
2,25-2,03 ton/ha
Pemulia
:
Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaludin M, Susanto, Darman M.Arsyad, Muchlis Adie
Nomor galur                                        :    MANSURIA 359-49-4
Warna Hipokotil                                 :    Ungu
Warnaepikotil                                      :    Ungu
Warna daun                                         :    Hijau
Warna Bulu                                         :    Putih
Warna Bunga                                      :    Ungu
Warna polong masak                           :    Coklat muda
Warna kulit biji                                   :    Kuning
Warna Hilum                                       :    Kuning kecoklatan
Tipe tumbuh                                        :    Determinate
Bentuk Daun                                       :    Oval
Ukuran daun                                       :    Lebar
Perkecambahan                                   :    78-76%
Tinggi Tanaman                                  :    64-68 cm
Jumlah cabang                                     :    2,9- 5,6
Jumlah buku pada batang utama         :    12,9-14,8
Umur Berbunga                                  :    35,7-39,4 hari
Umur masak                                        :    82,5-92,5 hari
Bobot 100 biji                                     :    14,8-15,3 gram
Kandungan protein biji                       :    41,78 – 42,05%
Kandungan lemak                               :    17,12 – 18,60%
Ketahanan terhadap kerebahan           :    Tahan rebah
Ketahanan terhadap karat daun          :    Sedang
Ketahanan terhadap pecah polong      :    Tahan


METODOLOGI
WAKTU DAN TEMPAT
Praktikum produksi benih dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo IPB, Jl. Raya Dramaga, Bogor Jawa Barat (60 24’ 20” LS dan 1060 33’ 39” BT), unit prosesing benih Fakultas Pertanian, Laboratorium penyimpanan dan pengujian mutu benih Departemen Agronomi dan Holtikultura Institut Pertanian Bogor (IPB) berlangsung selama bulan September – Desember 2016. Benih yang digunakan adalah benih kedelai Anjasmoro hasil penanaman tahun sebelumnya.

BAHAN DAN ALAT
            Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas Anjasmoro yang sudah diinvigorasi dengan cara direndam dalam air selama 12 jam untuk 1 kg benih 300 ml air, pupuk Urea, SP36, dan KCl. Alat yang digunakan adalah Tali rafia, cangkul, mistar, meteran, alat tulis, gerobak sorong.

PENANAMAN
            Penanaman dilakukan di lahan berukuran 12 m x 16 m masing – masing perlakuan dibagi kedalam dua plot. Jarak tanam 20 cm x 25 cm, benih ditanam 2 butir per lubang. Pembuatan lubang tanam dilakukan dengan menggunkan tugal.

PEMELIHARAAN
Gambar 1. Pengairan dilapangan
            Kegiatan pemeliharaan meliputi pengairan, pemupukan, dan penyiangan. Penyiraman dilakukan untuk menghindari kekurangan air pada awal tanam karena pada tahap awal adalah tahap ketika benih membutuhkan air yang cukup banyak untuk proses imbibisi. Pengairan dilakukan dilakukan setiap hari jika tidak turun hujan dengan cara penyiraman. Pemupukan tanaman dilakukan dua tahap yaitu di hari ke-7 (Tujuh) setelah tanam menggunakan pupuk Urea (0,25 kg/petak), SP36 (1 kg/petak), KCl (2 kg/ha). Untuk urea dilakukan 2 tahap pemupukan dengan frekuensi 75% pemupukan pertama dan 25% pemupukan kedua yang dilakukan di hari ke-14 setelah tanam. Pemupukan dilakukan secara alur yaitu dengan cara membuat alur di sepanjang antar baris tanaman dan kemudian ditutup lagi untuk mencegah terjadinya penguapan sehingga dapat dimanfaatkan tanaman secara maksimum. Penyiangan meliputi mencabut setiap gulma yang tumbuh menggunakan kored dan cangkul. Penyiangan dilakukan setiap minggu hingga 45 HST.

PENGAMATAN
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan generatif, mutu fisik dan fisiologis dan produksi jagung.

Pengamatan vegetatif tanaman
Pengamatan vegetatif dilakukan dengan cara mengukur tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai). Sampel yang digunakan dalam pengukran sebanyak 10 tanaman untuk masing-masing perlakuan. Pengukuran dan pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali dengan menggunakan mistar dan meteran.

Komponen hasil tanaman
Menghitung bobot biji tanaman per sampel dan bobot biji 1 m2. Perhitungan produksi pertanaman ditentukan dengan mengambil jumlah benih pada tiap tanaman sampel kemudian dihitung berdasarkan berat dalam gram. Sedangkan Perhitungan produksi 1m2 yaitu mengambil jumlah benih pada tiap tanaman per 1 m2  sebanyak 3 kali ulangan dan dihitung berat dalam gram.

Mutu Fisik dan Fisiologis benih
Bobot 1000 Butir Benih
Berat 1000 butir benih dilakukakan terhadap 1000 butir yang sudah dijemur dan dilakukan penimbangan setiap 100 butir yang sudah dibersihkan diulang sebanyak 8 kali.

Daya Berkecambah (DB)
Daya berkecambah benih dilakukan di laboratorium dengan menggunakan UKdDP sebanyak empat ulangan masing-masing 25 benih. Pengamtan daya berkecambah dilakukan di hari ke -3 dan ke-5 setelah tabor, pengamtan dilakukan terhadap kecambah normal, abnormal. Perhitungan daya berkecambah benih dilakukan dengan menggunakan rumus:
DB =

Indeks Vigor (IV)
Indeks Vigor (IV) dilakukan dengan cara menghitung persentase kecambah normal pada hari ke -3. Indeks vigor merupakan salah satu tolok ukur dari parameter vigor kekuatas tumbuh (Vt):
 x 100%

Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)
Berat Kering Kecambah Normal (BKKN) dilakukan dengan cara menimbang berat kecambah normal yang sebelumnya telah dikeringkan menggunakan oven pada suhu 600C selama 3 hari dan dihitung berat dalam gram.

 HASIL DAN PEMBAHASAN
PERTUMBUHAN VEGETATIF
Hasil pertumbuhan tanaman kedelai dari produksi tanaman sebelumnya yang diberi perlakuan invigorasi dan non invigorasi pada saat di tanam untuk produksi benih menunjukkan pengaruh yang tidak nyata hal ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh benih invigorasi dan non Invigorasi terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun 5 minggu setelah tanam
Peubah
F Hitung
Pr > F
Koefesien Keragaman
Tinggi Tanaman (cm)
0,71
0,421 tn
7,27
Jumlah Daun (helai)
3,2
0,107 tn
2,68
Keterangan : tn tidak menunjukkan berpengaruh nyata pada uji anova taraf kepercayaan 95%
Perlakuan benih invigorasi tidak memberikan peningkatan yang nyata dibandingkan benih non invigorasi baik pada tolok ukur tinggi tanaman maupun jumlah daun. Walaupun demikian, pengaruh perlakuan belum dapat disimpulkan dengan sempurna hingga tahap pengamatan perkecambahan. Tanaman yang menggunakan benih invigorasi mempunyai tinggi 57,8 cm dan jumlah daun 12,2 helai yang berbeda namun tidak signifikan dibandingkan dengan tanaman yang menggunakan benih non invigorasi yaitu masing-masing 60,55 cm dan 10,05 helai.
Malaupun demikian, pertumbuhan vegetatif tidak selalu mencerminkan hasil suatu tanaman. Pertumbuhan tanaman dapat diekspresikan melalui beberapa cara. Salah satu pertumbuhan yang paling jelas adalah dari pertambahan tinggi tanaman, tetapi hal tersebut bukanlah yang paling penting. Peningkatan berat kering tanaman dapat dikatakan sebagai aspek yang paling penting dalam pertumbuhan, karena akan mempengaruhi hasil akhir berupa biji (Sitompul dan Guritno, 1995). Dari deskripsi varietas tinggi tanaman kedelai anajasmoro adalah 64 – 68 cm. Dalam percobaan ini tinggi tanaman termasuk katagori normal yaitu 58,8 cm - 60,55 cm sehingga syarat tumbuh untuk tanaman sudah tercukupi pada fase vegetatif.


Tabel 2. Pengaruh benih invigorasi dan non invigorasi terhadap daya tumbuh (DT) 1 minggu setelah tanam
Perlakuan
Daya Tumbuh (%)
Invigorasi
55,05
Non Invigorasi
53,69

Hasil penanaman di lapangan mrnunjukkan tidak ada pengaruh nyata perlakuan invigorasi terhadap daya tumbuh. Tanaman yang menggunakan benih invigorasi menunjukkan daya tumbuh sebesar 55,05% dan dan daya tumbuh benih tanpa perlakuan invigorasi adalah 53,69%. Daya tumbuh tanaman yang menggunakan benih invigorasi hanya lebih tinggi 2,47% dibandingkan dengan tanaman yang menggunakan benih tanpa invigorasi. Dari hasil penelitian Erinnovita et al 2007 perlakuan invigorasi perendaman air meningkatkan daya tumbuh sebesar 28.66% menjadi 47.33% dan meningkatkan kecepatan tumbuh sebesar 1.51%/etmal menjadi 2.44%/etmal pada benih kacang panjang.
Dari pengamatan pertumbuhan vegetatif tinggi tanaman, jumlah daun dan daya tumbuh tidak ada perbedaan yang signifikan antara tanaman yang menggunakan benih invigorasi maupun tidak. Persentase daya tumbuh benih termasuk katageori rendah yaitu dibawah 60%. Hal ini menyebabkan meningkatkan biaya penyulaman dan mundurnya waktu tanaman sehingga produksi tidak optimal dan mutunya rendah. Walaupun dilakukan penyulaman, tidak sepenuhnya mengatasi masalah benih yang tidak tumbuh karena tingkat kemasakan yang tidak serempak juga akan mempengaruhi mutu hasil dan produksinya (Sucahyono et al 2013).

Text Box: PerlakuanText Box: Tingggi Tanaman (cm)
Gambar 1. Rerata daya tumbuh antara benih invogorasi dan noninvigorasi pada 5 MST

Text Box: Jumlah Daun (Helai)Text Box: Perlakuan
Gambar 2. Rerata tinggi tanaman antara benih invogorasi dan noninvigorasi pada 5 MST



PRODUKSI TANAMAN
Tabel 3. Pengaruh penggunaan benih invigorasi dan noninvigorasi terhadap produksi per tanaman
Peubah
F Hitung
P>5%
Koefesien Keragaman
Produksi per tanaman
0,58
0,466tn
8,707
Keterangan : tn tidak menunjukkan berpengaruh nyata pada uji anova taraf kepercayaan 95%
Perlakuan benih invigorasi tidak memmberikan peningkatan yang nyata dibandingkan benih tanpa invigorasi pada tolok ukur produksi per tanaman. Tanaman yang menggunakan benih invigorasi mempunyai rerata bobot biji 12,81 gram dan tanaman yang menggunakan benih tanpa invigorasi mempunyai rerata bobot biji 15,77 gram  (Gambar 3). Meskipun menunjukkan pengaruh tidak nyata, secara rerata tanaman dari benih invigorasi menghasilkan berat 1000 butir benih 18,76% lebih rendah dibandingkan tanaman yang menggunakan benih tanpa invigorasi. Hal ini dikarenakan kemungkinan pengeringan benih non invigorasi tidak dilakukan secara maksimal sehingga kadar air bobot biji kering masih cukup tinggi, diduga dengan tehnik invigorasi tidak dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk memproduksi hasil lebih tinggi.
Tabel 4. Produksi benih per petak dan per hektar
Perlakuan
Produksi per petak (kg)
Produksi per hektar (ton)
Invigorasi
5,0
1,02
Non Invigorasi
6,4
1,31

            Perlakukuan invigorasi menghasilkan produksi biji kering lebih rendah sebesar 5,0 kg petak-1 atau 1,04 ton ha-1  dibandingkan dengan produksi biji kering tanpa invigorasi yaitu 6,3 kg petak-1 atau 1,33 ton ha-1 (konversi berdasarkan luas petak panen 8 m x 6 m). Produksi biji kering yang menggunakan benih non invigorasi lebih tinggi 22,14% dibandingkan produksi invigorasi, sehingga dengan tehnik invigorasi benih ini tidak dapat meningkatkan produksi benih kedelai varietas anjasmoro. Berdasarkan deskripsi varietas potensi hasil kedelai anjasmoro adalah 2,25 - 2,03 ton/ha. Dari percobaan yang dilakukan produksi kedelai anjasmoro yang ditanam tidak mencapai potensi hasil, hal ini diduga karena faktor lingkungan ketika penanaman. Pada saat penanaman kondisi lingkungan adalah pada musim hujan sehingga  menyebabkan curah hujan yang cukup tinggi. Ketidaksesuaian lokasi peroduksi, penyiapan tanah, waktu tanam, aplikasi pupuk, pengendalian hama dan gulma, waktu dan cara panen, prosesing pengemasan, serta peyimpanan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap rendahnya produksi dan mutu benih (Hasanah, 2002).

Text Box: PerlakuanText Box: Produksi per tanaman (gram)  (gram(gra
Gambar 3. Rerata daya produksi per tanaman kedelai antara benih invigorasi dan noninvigorasi

MUTU FISIK DAN FISIOLOGIS BENIH
Tabel 6. Mutu Fisik (Bobot 1000 butir) benih invigorasi dan noninvigorasi
Perlakuan Benih
Bobot 1000 Butir Biji (gram)
Invigorasi
148,83
Non Invigorasi
167,52

Perlakuan benih invigorasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bobot 1000 butir biji. Tanaman yang menggunakan benih invigorasi menunjukkan bobot 1000 butir sebesar 148,83 gram lebih rendah dibandingkan dengan tanaman menggunakan benih noninvigorasi yaitu 167,52 gram (Tabel 6). Bobot 1000 butir tanaman yang menggunakan benih invigorasi lebih rendah 16,62% dibandingkan dengan tanaman yang menggunakan benih tanpa invigorasi.
Berdasarkan deskripsi varietas bobot 1000 biji kedelai varietas anjasmoro adalah 148 -153 gram. Bobot 1000 butir tanaman yang menggunakan benih invigorasi sudah mencapai bobot standar untuk benih kedelai anjasmoro, sedangkan bobot 1000 butir tanaman yang menggunakan benih non invigorasi melebihi bobot standar. Hal ini terjadi kemungkinan karena penjemuran benih yang kurang optimal sehingga kadar air benih masih cukup tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bobot 1000 butir pada tanaman yang menggunakan benih invigorasi sudah mencapai bobot standar.

Tabel 7. Pengaruh   benih   invigorasi   dan  non invigorasi   terhadap  Mutu  Fisiologis  (Daya
              berkecambah, Indeks Vigor dan Berat Kering Kecambah Normal) benih
Peubah
F Hitung
Pr>F
Koefesien Keragaman
DB (%)
4,84
0,115tn
12,86
IV (%)
1,26
0,143tn
10,07
BKKN (gram)



Keterangan : tn tidak menunjukkan berpengaruh nyata pada uji anova taraf kepercayaan 95%
Daya berkecambah mencerminkan kemampuan benih untuk berkembang menjadi tanaman normal pada kondisi lingkungan yang optimum (Copeland dan McDonald, 1995). Nilai indeks vigor adalah nilai yang dapat mewakili kecepatan perkecambahan benih (Copeland dan McDonald, 1995). Benih yang berkecambah cepat mengindikasikan benih tersebut vigor. Benih yang vigor mampu tumbuh pada berbagai macam kondisi di lapangan (Sadjad, 1994). Perlakuan benih memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap daya berkecambah (DB) dan Indeks Vigor (IV) benih. Daya berkecambah dan Indeks Vigor (IV) dari benih invigorasi adalah 45% dan 35%, sedangkan daya berkeceambah dan Indeks Vigor (IV) dari benih non invigorasi masing – masing  adalah 65% dan 45%.
Text Box: Perlakuan
Gambar 4. Rerata Daya Berkecambah (DB) benih kedelai invigorasi dan noninvigorasi

Text Box: PerlakuanText Box: Indeks Vigor (%)
Gambar 5. Rerata Indeks Vigor (IV) benih kedelai invigorasi dan noninvigorasi

Secara umum, dilihat dari daya berkecambah dan indeks vigor benih yang diinvigorasi maupun tidak, memiliki nilai persentase DB dan IV yang cukup rendah. Berdasasrkan hasil penelitian Sucahyono et al 2013 kedelai hitam yang menggunakan benih invigorasi mempunyai daya berkecambah sebesar 88,3% - 94,37% dan indeks vigor sebesar 77% - 86,37%. Persentase daya kecambah dan indeks vigor ini lebih tinggi dibandingkan dengan persentase dari percobaan yang dilakukan, bahkan nilai persentasenya dibawah 50%. Kemungkinan hal ini terjadi karena faktor lain seperti faktor lingkungan yang kurang optimum pada saat penanaman, sehingga tujuan dari tehnik invigorasi ini tidak tercapai untuk meningkatkan mutu benihnya. Mutu fisiologis dipengaruhi oleh kondisi tumbuh (tersedianya air, hara dan tidak adanya penyakit selama stadia pengisian biji, tidak adanya hujan yang berlebihan selama pemasakan biji dampe panen), metode pemanenan dan perontokkan yang mengakibatkan kerusakan mekanis, serta kondisi simpan benih (Ilyas, 2012).


KESIMPULAN
            Hasil panen menunjukkan benih varietas anjasmoro yang diivigorasi tidak mempengaruhi hasil produksi dan vigor benih sehingga benih yang diinvigorasi tidak mampu meningkatkan peforma pertumbuhan dan produksi benih di lapangan. Produksi dan mutu benih tanaman kedelai yang diinvigorasi maupun tidak diinvigorasi menunjukkan produksi hasil yang sama.

 DAFTAR PUSTAKA

AAK, 1991.  Kedelai. Kanisius. Yogyakarta. 83 hlm.
Adisarwanto, 2008. Budidaya Kedelai Tropika. Penebar Swadaya. Jakarta. 76 hlm.
Asadi, B., M. Arsyad, H. Zahara dan Darmijati, 1997. Pemuliaan Kedelai untuk Toleran Naungan dan Tumpangsari. Bul. Agrobio. 1 (2):15-20. Bul. Agron. 35 (2): 96 – 102
Astawan, M. 2013. Produksi Padi, Jagung, Dan Kedelai (Angka Ramalan I Tahun 2013).
Copeland, L.O and M.B. McDonald. 1995. Principles of Seed Science and Technology. Kluwer Academic Publisher. New York.
Erinnovita, Sari. M dan Guntoro, D. 2008. Invigorasi Benih untuk Memperbaiki Perkecambahan Kacang Panjang (Vigna unguiculata Hask. ssp. sesquipedalis) pada Cekaman Salinitas. Bul. Agron. 36 (3): 214 – 220
Fachruddin, 2000. Budidaya kacang-kacangan. Kanisius, Yogyakarta
Farooq, M., S.M.A. Basra, A. Wahid. 2006a. Priming of field-sown rice enhances germination, seedling establishment, allometry and yield. Plant Growth Regul. 49:285-294.
Farooq, M., S.M.A. Basra, R. Tabassum, I. Afzal. 2006b. Enhancing the performance of direct seeded fine rice by seed priming. Plant Prod. Sci. 9:446-456.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL, 1991. Physiology of crop plants. Diterjemahkan oleh H. Susilo. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Hasanah, M. 2012. Peran mutu fisiologik benih dan pengembangan industry benih tanaman pangan. Jurnal Litbang Pertanian 21(3) :84-91
Ilyas, S. 2006. Review: Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed quality. Bul. Agron. 34:124-132.
Ilyas, S., G.A.K. Sutariati, F.C. Suwarno, Sudarsono. 2002. Matriconditioning improve the quality and protein level of medium vigor hot pepper seed. Seed Technol. 24:65-75.
Jyoti and C. P. Malik. 2013. Seed Deterioration.  International Journal of Life  Sciences Biotechnology and
Nasution, M. 2004. Diversifikasi Titik Kritis Pembangunan Pertanian Indonesia: Pertanian Mandiri. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pharma Research. 2(3):374-385. Tatipata, A. 2008. Pengaruh Kadar Air Awal, Kemasan dan Lama Simpan Terhadap Protein Membran dalam Mitokondria Benih Kedelai.  Buletin Agronomi. 36(1): 8-16.
Prabha, D and J. S. Chauhan. 2014. Physiological Seed Enhancement Techniques.  Popular Kheti. 2(1):162-163.
Rusmin, D. 2007. Peningkatkan Viabilitas Benih Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Melalui Invigorasi. Jurnal Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. 19(1):56-63
Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. PT. Grasindo. Jakarta.
Sucahyono., D,  Sari., M, Surahman, M dan Ilyas, S.  2013. Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih Kedelai Hitam (Glycine soja) terhadap Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, dan Hasil. J. Agron. Indonesia 41 (2) : 126 – 132
Warisno dan Kres Dahana, 2010. Meraup Untung dari Olahan Kedelai. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Winarto A. et al., 2002. Peningkatan Produktifitas, Kualitas dan Efisiensi Sistem Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Menuju Ketahanan Pangan dan Agribisnis.











No comments:

Post a Comment

Proposal MAJLIS TA"LIM

Project Proposal PERMOHONAN BANTUAN RUTINITAS PELAKSANAAN KEGIATAN MAJLIS TA’LIM                   LOGO       ...