LAPORAN
PRAKTIKUM
PRODUKSI BENIH
(AGH 551)
PENGARUH TEHNIK INVIGORASI TERHADAP PRODUKSI
BENIH KEDELAI
(Glycine max (L.) Merrill)
Oleh:
Windi Triostin A261160071
Zulfikar Saimi A251150011
Dosen:
Prof. Ir. Memen Surahman, M.Sc. Agr
Dr. Ir. Abdul Qadir, M.Si
Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc
Chandra Budiman, SP, M.Si
Gani Jawak, SP, MSi.
PROGRAM STUDI
ILMU DAN TEKNOLOGI BENIH
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2017
PRAKATA
Segala
puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat-Nya penulis
telah dapat menyelesaikan laporan praktikum Produksi benih,
dengan judul “pengaruh tehnik invigorasi terhadap tingkat
produksi benih kedelai (glycine max (l.) Merrill). Selawat beriring salam kepada junjungan
alam Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan yang mengajarkan kita berakhlak
mulia dan santun.
Laporan ini dibuat berdasarkan hasil pengamatan praktikum
dan referensi dari beberapa teks book.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing
praktikum dan teman teman peerta praktikum yang telah membantu pelaksanaan
praktikum sampai laporan praktikum ini dapat disusun. Mudah-mudahan laporan
praktikum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Bogor,
15 Januari
2017
Penulis
PENDAHULUAN
Kebutuhan
kedelai di Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan perbaikan pendapatan per kapita. Oleh karena itu, di
perlukan suplai kedelai tambahan yang harus diimpor karena produksi dalam
negeri belum mampu mencukupi kebutuhan tersebut. Produksi kedelai nasional pada
tahun 2012 (ATAP) sebesar 843.15 ribu ton biji kering atau mengalami penurunan
sebesar 8,13 ribu ton (0,96 persen) dibandingkan tahun 2011. Sedangkan pada
tahun 2013 (ARAM I) produksi kedelai diperkirakan 847.16 ribu ton biji kering
atau mengalami peningkatan sebesar 4,00 ribu ton (0,47 persen) dibandingkan
tahun 2012. Peningkatan produksi ini diperkirakan terjadi karena kenaikan luas
panen seluas 3,94 ribu hektar (0,69 persen) meskipun produktivitas diperkirakan
mengalami penurunan sebesar 0,03 kuintal/hektar (0,20 persen) (ATAP dan ARAM I
BPS, 2013).
Dalam rangka revitalisasi pertanian
yang bertujuan agar tercipta swasembada kedelai pada tahun 2015 perlu adanya peningkatan
produksi dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Salah
satu strategi yang dapat dilakukan untuk peningkatan produksi kedelai adalah
melaui perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan
kualitas produk, perlakuan sebelum tanam serta upaya-upaya lain yang mendukung
berbagai pengembangan kedelai Indonesia. Namun dengan perluasan areal tanam
memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah kurangnya luas lahan pertanian
potensial, karena digunakan untuk industri, pemukiman dan keperluan non
pertanian lainnya hingga mencapai 47 ribu hektar per tahun. Maka pemanfaatan
lahan marginal seperti lahan di bawah tanaman usia muda menjadi alternatif
pilihan (Nasution, 2004). Disamping itu tehnik lain yang dapat dilakuakan
adalah dengan cara perlakuan benih sebelum tanam adalah invigorasi, hal ini
dilakukan untuk menambah performa benih saat tumbuh dilapang.
Tehnik perlakuan
invigorasi telah banyak digunakan untuk meningkatkan vigor benih, dimana
pengaruh tehnik tersebut terlihat sampai fase vegetatif bahkan dapat
meningkatkan hasil, sebagaimana hasil penelitian pada benih padi yang
dilaporkan Farooq et al. (2006a dan b). Hasil padi dari benih yang mendapat
perlakuan invigorasi dengan teknik osmohardening dengan CaCl2
memberikan respon positif terhadap produksi (Farooq et al 2007). Diantara perlakuan invogorasi, salah satu perlakuan
invigorasi benih yang telah terbukti efektif adalah matriconditioning.
Keberhasilan matriconditioning dengan
hidrasi pra perkecambahan guna meningkatkan viabilitas dan vigor benih telah
banyak diteliti (Ilyas 2006). Matriconditioning
bahkan dapat diintegrasikan dan memberikan keuntungan lebih pada aplikasi zat
pengatur tumbuh (Ilyas et al 2002),
fungisida dan biofungisida (Ilyas 2006).
Ketersediaan benih
bermutu menjadi hal yang penting untuk kesinambungan produksi tanaman.
Penggunaan benih bermutu rendah menyebabkan daya adaptasi tanaman di lapang
menjadi berkurang, dan berakibat pada produksi tanaman yang rendah (Prabha dan
Chauhan, 2014). Mutu benih dapat mengalami kemunduran seiring dengan berjalannya
waktu dan tidak dapat dikembalikan (Jyoti dan Malik, 2013). Benih kedelai hitam
termasuk benih orthodok yang cepat mengalami kemunduran terutama jika kondisi
lingkungan simpan kurang menguntungkan (sub optimum). Hal ini disebabkan karena
kandungan protein yang dimiliki relatif besar, mengakibatkan kadar air benih cepat
meningkat. Protein yang bersifat higroskopis, menyebabkan benih mengabsorpsi
air lebih banyak (Tatipata, 2008). Rusmin (2007) berpendapat, solusi yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan mutu benih yang telah mengalami kemunduran ialah
melalui invigorasi. Invigorasi ialah suatu perlakuan fisik atau kimia untuk meningkatkan
atau memperbaiki mutu benih yang telah mengalami kemunduran. Salah satu teknik
invigorasi yang dapat dilakukan adalah osmoconditioning.
Berdasarkan
pernasalahan dan studi kasus diatas maka perlu dilakukan tehnik invigorasi
terhadap laju pertumbuhan dan produksi hasil benih kedelai ini, agar kedelai
dapat ditingkatkan terus potensi hasilnya kedepan. Tujuan praktikum ini adalah
untuk mengetahui pengaruh
perlakuan invigorasi terhadap performa pertumbuhan dan produksi benih kedelai. Diduga
bahwa perlakuan invigorasi memberikan respon tingkat pertumbuhan dan produksi
yang baik terhadap benih kedelai.
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill)
merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak-semak rendah, tumbuh tegak
dengan panjang batang antara 100-200 cm. Akar kedelai bisa membentuk bintil
akar yang berbentuk bulat atau tidak beraturan yang merupakan koloni bakteri Rhizobium jopanicum.
Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja
max. Namun pada tahun 1984 telah
disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah,
yaitu Glycine max (L.) Merrill. Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut (Adisarwanto
2005):
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Polypetales
Familia : Leguminosae
Genus : Glycine
Species: : Glycine max (L.)
Merril
Tanaman
kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan merupakan tanaman semusim.
Morfologi tanaman didukung oleh komponen umumnya yaitu akar, daun, batang,
polong, dan biji sehingga pertumbuhannya bisa optimal (Anonymous, 2009).
Tipe pertumbuhan kedelai ada 2 yaitu tipe ujung
melilit batang dan tipe batang tegak. Kedelai yang bertipe pertumbuhan ujung
melilit batang ujung batangnya tidak berakhir dengan rangkaian bunga, jadi
ujung batang atau cabang-cabangnya tumbuh melilit. Sedangkan kedelai yang
bertipe pertumbuhan batang tegak, ujung batangnya berakhir dengan rangkaian
bunga, namun ujung batang atau cabang-cabangnya tumbuh tanpa melilit, tetapi
lurus tegak keatas (AAK 1991).
Susunan akar
kedelai pada umumnya sangat baik. Pertumbuhan akar tunggang lurus masuk ke
dalam tanah dan mempunyai banyak akar cabang (Anonymous, 1989). Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di
sekitar mesofil. Calon akar tersebut kemudian tumbuh dengan cepat ke dalam
tanah, sedangkan kotiledon yang terdiri dari dua keping akan muncul ke
permukaan tanah akibat pertumbuhan yang cepat dari hipokotil (Adisarwanto,
2006).
Sistim
perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder
(serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu, kedelai juga seringkali
membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya
akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi (Adisarwanto
2006).
Pertumbuhan
batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan
indeterminate. Perbedaan sistim pertumbuhan batang ini didasarkan atas
keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate
ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai
berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk
batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto 2006).
Daun
kedelai merupakan daun majemuk yang terdiri dari tiga helai anak daun dan
umumnya berwarna hijau kekuning-kuningan. Bentuk daun ada yang oval, juga ada
yang segitiga. Warna dan bentuk daun kedelai ini tergantung pada varietas
masing-masing. Pada saat tanaman kedelai itu sudah tua, maka daun kedelai itu
sudah menguning,
maka daun-daunnya mulai rontok (AAK 1991).
Tanaman
kedelai memiliki bunga sempurna (hermaprodit), yakni pada tiap kuntum bunga
terdapat alat kelamin betina (putik) dan kelamin jantan (benangsari) (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Bunga kedelai mempunyai
10 buah benang sari. Sembilan buah diantaranya bersatu pada bagian pangkal dan
membentuk seludang yang mengelilingi putik. Sedangkan benang sari yang
kesepuluh terpisah pada bagian pangkalnya dan seolah-olah menjadi penutup
seludang. Bila putik di belah, didalamnya terdapat tiga bakal biji (AAK 1991).
Penyerbukannya termasuk penyerbukan sendiri dengan tepung
sari sendiri karena pembuahan terjadi sebelum bunga mekar (terbuka). Pada saat
terjadi persilangan (hibridisasi), mahkota daun dan benang sari dibuang
(kastrasi/mengebiri), hanya putiknya saja yang ditinggalkan (AAK 1991).
Polong kedelai
pertama kali terbentuk sekitar 7 - 10 hari setelah
munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang
terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1 - 10 buah dalam setiap
kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50,
bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin
cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong
menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian
diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada
saat masak (Anonymous 2009).
Warna biji
berbeda-beda, perbedaan warna biji dapat dilihat pada belahan biji ataupun pada
selaput biji, biasanya kuning atau hijau transparan (tembus cahaya). Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan embrio.
Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna
coklat, hitam atau putih. Pada ujung hitam terdapat mikrofil, berupa lubang
kecil yang terbentuk pada saat proses pembentukan biji (Adisarwanto 2006).
Semua varietas kedelai mempunyai bulu pada batang,
cabang, daun dan polong-polongnya. Lebat atau tidaknya bulu serta kasar atau
halusnya bulu tergantung dari varietas masing-masing. Begitu pula warna bulu
berbeda-beda, ada yang berwarna coklat dan ada pula yang putih kehijauan (AAK
1991).
Komoditas
kacang-kacangan potensial menghadapi kendala penelitian dan pengembangan yang
menghambat budidaya diberbagai wilayah. Sehingga diperlukan identifikasi secara
jelas faktor-faktor kendala utama,
yang mencakup ekologi, produksi, sosial ekonomi, yang menjadi penghambat utama bagi budidaya, pemanfaatan dan
penelitian lebih lanjut (Winarto et al
2002).
SYARAT
TUMBUH
Tanaman
kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal
dalam proses perkecambahan yaitu 30 0C (Adisarwanto, 2006). Curah
hujan berkisar antara 150 - 200 mm untuk bulan
pertama, dengan lama penyinaran matahari 12 jam pada hari pertama penanaman,
dan kelembaban rata-rata (RH) 65 % (Fachruddin, 2000). Untuk mendapatkan hasil yang optimal, tanaman kedelai
membutuhkan curah hujan antara 100 - 200 mm pada bulan
pertama (Purwono dan Purnamawati 2007).
Tanaman
kedelai menghendaki tanah yang subur, gembur, dan kaya akan humus atau bahan
organik (Suprapto 1999). Nilai pH ideal bagi pertumbuhan kedelai adalah 6,0 - 6,8. Apabila pH diatas
7,0 tanaman kedelai akan mengalami klorosis sehingga tanaman menjadi kerdil dan
daunnya menguning (Fachruddin
2000).
Kedelai
dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asal drainase dan aerasi tanah
cukup baik. Tanah yang cocok yaitu alluvial, regosol, grumosol, latosol,
dan andosol. Pada tanah podsolik merah kuning dan tanah
yang mengandung banyak pasir kwarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik, karena mengandung masam kecuali bila
diberi tambahan pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang cukup (AAK 1991).
DESKRIPSI
VARIETAS KEDELAI ANJASMORO
Nama varietas
|
:
|
Anjasmoro
|
Kategori
|
:
|
Varietas ungggul nasional
(released variety)
|
SK
|
:
|
537/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober tahun 2001
|
Tahun
|
:
|
2001
|
Tetua
|
Seleksi massa dari populasi galur murni MANSURIA
|
|
Potensi hasil
|
:
|
2,25-2,03 ton/ha
|
Pemulia
|
:
|
Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaludin M, Susanto,
Darman M.Arsyad, Muchlis Adie
|
Nomor galur :
MANSURIA 359-49-4
Warna Hipokotil :
Ungu
Warnaepikotil :
Ungu
Warna daun :
Hijau
Warna Bulu : Putih
Warna Bunga :
Ungu
Warna polong masak : Coklat muda
Warna kulit biji :
Kuning
Warna Hilum :
Kuning kecoklatan
Tipe tumbuh : Determinate
Bentuk Daun : Oval
Ukuran daun : Lebar
Perkecambahan : 78-76%
Tinggi Tanaman : 64-68 cm
Jumlah cabang : 2,9- 5,6
Jumlah buku pada batang utama : 12,9-14,8
Umur Berbunga : 35,7-39,4 hari
Umur masak : 82,5-92,5 hari
Bobot 100 biji : 14,8-15,3 gram
Kandungan protein biji : 41,78 – 42,05%
Kandungan lemak : 17,12 – 18,60%
Ketahanan terhadap kerebahan : Tahan rebah
Ketahanan terhadap karat daun :
Sedang
Ketahanan terhadap pecah polong : Tahan
METODOLOGI
WAKTU
DAN TEMPAT
Praktikum produksi benih
dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo IPB, Jl. Raya Dramaga, Bogor Jawa
Barat (60 24’ 20” LS dan 1060 33’ 39” BT), unit prosesing benih Fakultas
Pertanian, Laboratorium penyimpanan dan pengujian mutu benih Departemen
Agronomi dan Holtikultura Institut Pertanian Bogor (IPB) berlangsung selama bulan
September – Desember 2016. Benih yang digunakan adalah benih kedelai Anjasmoro
hasil penanaman tahun sebelumnya.
BAHAN
DAN ALAT
Bahan yang
digunakan adalah benih kedelai varietas Anjasmoro yang sudah diinvigorasi
dengan cara direndam dalam air selama 12 jam untuk 1 kg benih 300 ml air, pupuk
Urea, SP36, dan KCl. Alat yang digunakan adalah Tali rafia, cangkul, mistar, meteran,
alat tulis, gerobak sorong.
PENANAMAN
Penanaman dilakukan di lahan
berukuran 12 m x 16 m masing – masing perlakuan dibagi kedalam dua plot. Jarak
tanam 20 cm x 25 cm, benih ditanam 2 butir per lubang. Pembuatan lubang tanam
dilakukan dengan menggunkan tugal.
PEMELIHARAAN
Gambar
1. Pengairan dilapangan
Kegiatan
pemeliharaan meliputi pengairan, pemupukan, dan penyiangan. Penyiraman
dilakukan untuk menghindari kekurangan air pada awal tanam karena pada tahap
awal adalah tahap ketika benih membutuhkan air yang cukup banyak untuk proses
imbibisi. Pengairan dilakukan dilakukan setiap hari jika tidak turun hujan
dengan cara penyiraman. Pemupukan tanaman dilakukan dua tahap yaitu di hari
ke-7 (Tujuh) setelah tanam menggunakan pupuk Urea (0,25 kg/petak), SP36 (1
kg/petak), KCl (2 kg/ha). Untuk urea dilakukan 2 tahap pemupukan dengan
frekuensi 75% pemupukan pertama dan 25% pemupukan kedua yang dilakukan di hari
ke-14 setelah tanam. Pemupukan dilakukan secara alur yaitu dengan cara membuat
alur di sepanjang antar baris tanaman dan kemudian ditutup lagi untuk mencegah
terjadinya penguapan sehingga dapat dimanfaatkan tanaman secara maksimum.
Penyiangan meliputi mencabut setiap gulma yang tumbuh menggunakan kored dan
cangkul. Penyiangan dilakukan setiap minggu hingga 45 HST.
PENGAMATAN
Pengamatan
dilakukan terhadap pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan generatif, mutu fisik dan
fisiologis dan produksi jagung.
Pengamatan
vegetatif tanaman
Pengamatan
vegetatif dilakukan dengan cara mengukur tinggi tanaman (cm), jumlah daun
(helai). Sampel yang digunakan dalam pengukran sebanyak 10 tanaman untuk
masing-masing perlakuan. Pengukuran dan pengamatan dilakukan setiap seminggu
sekali dengan menggunakan mistar dan meteran.
Komponen
hasil tanaman
Menghitung
bobot biji tanaman per sampel dan bobot biji 1 m2. Perhitungan
produksi pertanaman ditentukan dengan mengambil jumlah benih pada tiap tanaman
sampel kemudian dihitung berdasarkan berat dalam gram. Sedangkan Perhitungan
produksi 1m2 yaitu mengambil jumlah benih pada tiap tanaman per 1 m2
sebanyak 3 kali ulangan dan dihitung
berat dalam gram.
Mutu
Fisik dan Fisiologis benih
Bobot
1000 Butir Benih
Berat
1000 butir benih dilakukakan terhadap 1000 butir yang sudah dijemur dan
dilakukan penimbangan setiap 100 butir yang sudah dibersihkan diulang sebanyak
8 kali.
Daya
Berkecambah (DB)
Daya
berkecambah benih dilakukan di laboratorium dengan menggunakan UKdDP
sebanyak empat ulangan masing-masing 25 benih. Pengamtan daya berkecambah
dilakukan di hari ke -3 dan ke-5 setelah tabor, pengamtan dilakukan terhadap
kecambah normal, abnormal. Perhitungan daya berkecambah benih dilakukan dengan
menggunakan rumus:
DB =
Indeks
Vigor (IV)
Indeks Vigor (IV) dilakukan dengan cara menghitung
persentase kecambah normal pada hari ke -3. Indeks vigor merupakan salah satu
tolok ukur dari parameter vigor kekuatas tumbuh (Vt):
Berat Kering Kecambah Normal
(BKKN)
Berat
Kering Kecambah Normal (BKKN) dilakukan dengan cara menimbang berat kecambah
normal yang sebelumnya telah dikeringkan menggunakan oven pada suhu 600C
selama 3 hari dan dihitung berat dalam gram.
HASIL DAN PEMBAHASAN
PERTUMBUHAN VEGETATIF
Hasil
pertumbuhan tanaman kedelai dari produksi tanaman sebelumnya yang diberi
perlakuan invigorasi dan non invigorasi pada saat di tanam untuk produksi benih
menunjukkan pengaruh yang tidak nyata hal ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel
1. Pengaruh benih invigorasi dan non Invigorasi terhadap tinggi tanaman dan
jumlah daun 5 minggu setelah tanam
Peubah
|
F Hitung
|
Pr > F
|
Koefesien Keragaman
|
Tinggi Tanaman (cm)
|
0,71
|
0,421 tn
|
7,27
|
Jumlah Daun (helai)
|
3,2
|
0,107 tn
|
2,68
|
Keterangan
: tn tidak menunjukkan berpengaruh nyata pada uji anova taraf
kepercayaan 95%
Perlakuan benih
invigorasi tidak memberikan peningkatan yang nyata dibandingkan benih non
invigorasi baik pada tolok ukur tinggi tanaman maupun jumlah daun. Walaupun
demikian, pengaruh perlakuan belum dapat disimpulkan dengan sempurna hingga
tahap pengamatan perkecambahan. Tanaman yang menggunakan benih invigorasi
mempunyai tinggi 57,8 cm dan jumlah daun 12,2 helai yang berbeda namun tidak
signifikan dibandingkan dengan tanaman yang menggunakan benih non invigorasi
yaitu masing-masing 60,55 cm dan 10,05 helai.
Malaupun demikian,
pertumbuhan vegetatif tidak selalu mencerminkan hasil suatu tanaman. Pertumbuhan
tanaman dapat diekspresikan melalui beberapa cara. Salah satu pertumbuhan yang
paling jelas adalah dari pertambahan tinggi tanaman, tetapi hal tersebut
bukanlah yang paling penting. Peningkatan berat kering tanaman dapat dikatakan
sebagai aspek yang paling penting dalam pertumbuhan, karena akan mempengaruhi
hasil akhir berupa biji (Sitompul dan Guritno, 1995). Dari deskripsi varietas
tinggi tanaman kedelai anajasmoro adalah 64 – 68 cm. Dalam percobaan ini tinggi
tanaman termasuk katagori normal yaitu 58,8 cm - 60,55 cm sehingga syarat
tumbuh untuk tanaman sudah tercukupi pada fase vegetatif.
Tabel 2. Pengaruh benih invigorasi dan
non invigorasi terhadap daya tumbuh (DT) 1 minggu setelah tanam
Perlakuan
|
Daya Tumbuh (%)
|
Invigorasi
|
55,05
|
Non Invigorasi
|
53,69
|
Hasil penanaman di lapangan mrnunjukkan tidak ada
pengaruh nyata perlakuan invigorasi terhadap daya tumbuh. Tanaman yang
menggunakan benih invigorasi menunjukkan daya tumbuh sebesar 55,05% dan dan daya
tumbuh benih tanpa perlakuan invigorasi adalah 53,69%. Daya tumbuh tanaman yang
menggunakan benih invigorasi hanya lebih tinggi 2,47% dibandingkan dengan
tanaman yang menggunakan benih tanpa invigorasi. Dari hasil penelitian
Erinnovita et al 2007 perlakuan
invigorasi perendaman air meningkatkan daya tumbuh sebesar 28.66% menjadi
47.33% dan meningkatkan kecepatan tumbuh sebesar 1.51%/etmal menjadi
2.44%/etmal pada benih kacang panjang.
Dari pengamatan pertumbuhan vegetatif tinggi
tanaman, jumlah daun dan daya tumbuh tidak ada perbedaan yang signifikan antara
tanaman yang menggunakan benih invigorasi maupun tidak. Persentase daya tumbuh
benih termasuk katageori rendah yaitu dibawah 60%. Hal ini menyebabkan
meningkatkan biaya penyulaman dan mundurnya waktu tanaman sehingga produksi
tidak optimal dan mutunya rendah. Walaupun dilakukan penyulaman, tidak
sepenuhnya mengatasi masalah benih yang tidak tumbuh karena tingkat kemasakan
yang tidak serempak juga akan mempengaruhi mutu hasil dan produksinya
(Sucahyono et al 2013).
Gambar 1. Rerata daya
tumbuh antara benih invogorasi dan noninvigorasi pada 5 MST
Gambar 2. Rerata tinggi
tanaman antara benih invogorasi dan noninvigorasi pada 5 MST
PRODUKSI TANAMAN
Tabel 3. Pengaruh penggunaan benih
invigorasi dan noninvigorasi terhadap produksi per tanaman
Peubah
|
F Hitung
|
P>5%
|
Koefesien Keragaman
|
Produksi per tanaman
|
0,58
|
0,466tn
|
8,707
|
Keterangan
: tn tidak menunjukkan berpengaruh nyata pada uji anova taraf
kepercayaan 95%
Perlakuan
benih invigorasi tidak memmberikan peningkatan yang nyata dibandingkan benih tanpa
invigorasi pada tolok ukur produksi per tanaman. Tanaman yang menggunakan benih
invigorasi mempunyai rerata bobot biji 12,81 gram dan tanaman yang menggunakan
benih tanpa invigorasi mempunyai rerata bobot biji 15,77 gram (Gambar 3). Meskipun menunjukkan pengaruh
tidak nyata, secara rerata tanaman dari benih invigorasi menghasilkan berat
1000 butir benih 18,76% lebih rendah dibandingkan tanaman yang menggunakan
benih tanpa invigorasi. Hal ini dikarenakan kemungkinan pengeringan benih non
invigorasi tidak dilakukan secara maksimal sehingga kadar air bobot biji kering
masih cukup tinggi, diduga dengan tehnik invigorasi tidak dapat meningkatkan kemampuan
tanaman untuk memproduksi hasil lebih tinggi.
Tabel 4. Produksi benih per petak dan
per hektar
Perlakuan
|
Produksi per petak (kg)
|
Produksi per hektar
(ton)
|
Invigorasi
|
5,0
|
1,02
|
Non Invigorasi
|
6,4
|
1,31
|
Perlakukuan
invigorasi menghasilkan produksi biji kering lebih rendah sebesar 5,0 kg petak-1
atau 1,04 ton ha-1
dibandingkan dengan produksi biji kering tanpa invigorasi yaitu 6,3 kg
petak-1 atau 1,33 ton ha-1 (konversi berdasarkan luas
petak panen 8 m x 6 m). Produksi biji kering yang menggunakan benih non
invigorasi lebih tinggi 22,14% dibandingkan produksi invigorasi, sehingga
dengan tehnik invigorasi benih ini tidak dapat meningkatkan produksi benih
kedelai varietas anjasmoro. Berdasarkan deskripsi varietas potensi hasil
kedelai anjasmoro adalah 2,25 - 2,03 ton/ha. Dari percobaan yang dilakukan
produksi kedelai anjasmoro yang ditanam tidak mencapai potensi hasil, hal ini
diduga karena faktor lingkungan ketika penanaman. Pada saat penanaman kondisi
lingkungan adalah pada musim hujan sehingga
menyebabkan curah hujan yang cukup tinggi. Ketidaksesuaian lokasi
peroduksi, penyiapan tanah, waktu tanam, aplikasi pupuk, pengendalian hama dan
gulma, waktu dan cara panen, prosesing pengemasan, serta peyimpanan memberikan
kontribusi yang sangat besar terhadap rendahnya produksi dan mutu benih
(Hasanah, 2002).
Gambar 3. Rerata daya produksi per tanaman kedelai antara
benih invigorasi dan noninvigorasi
MUTU
FISIK DAN FISIOLOGIS BENIH
Tabel 6. Mutu Fisik (Bobot 1000 butir) benih
invigorasi dan noninvigorasi
Perlakuan Benih
|
Bobot 1000 Butir Biji
(gram)
|
Invigorasi
|
148,83
|
Non Invigorasi
|
167,52
|
Perlakuan benih
invigorasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bobot 1000 butir biji.
Tanaman yang menggunakan benih invigorasi menunjukkan bobot 1000 butir sebesar
148,83 gram lebih rendah dibandingkan dengan tanaman menggunakan benih noninvigorasi
yaitu 167,52 gram (Tabel 6). Bobot 1000 butir tanaman yang menggunakan benih
invigorasi lebih rendah 16,62% dibandingkan dengan tanaman yang menggunakan
benih tanpa invigorasi.
Berdasarkan deskripsi
varietas bobot 1000 biji kedelai varietas anjasmoro adalah 148 -153 gram. Bobot
1000 butir tanaman yang menggunakan benih invigorasi sudah mencapai bobot
standar untuk benih kedelai anjasmoro, sedangkan bobot 1000 butir tanaman yang
menggunakan benih non invigorasi melebihi bobot standar. Hal ini terjadi
kemungkinan karena penjemuran benih yang kurang optimal sehingga kadar air
benih masih cukup tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bobot 1000 butir
pada tanaman yang menggunakan benih invigorasi sudah mencapai bobot standar.
Tabel
7. Pengaruh benih invigorasi dan non
invigorasi terhadap Mutu Fisiologis
(Daya
berkecambah, Indeks Vigor dan
Berat Kering Kecambah Normal) benih
Peubah
|
F Hitung
|
Pr>F
|
Koefesien Keragaman
|
DB (%)
|
4,84
|
0,115tn
|
12,86
|
IV (%)
|
1,26
|
0,143tn
|
10,07
|
BKKN (gram)
|
Keterangan
: tn tidak menunjukkan berpengaruh nyata pada uji anova
taraf kepercayaan 95%
Daya berkecambah
mencerminkan kemampuan benih untuk berkembang menjadi tanaman normal pada
kondisi lingkungan yang optimum (Copeland dan McDonald, 1995). Nilai indeks
vigor adalah nilai yang dapat mewakili kecepatan perkecambahan benih (Copeland
dan McDonald, 1995). Benih yang berkecambah cepat mengindikasikan benih
tersebut vigor. Benih yang vigor mampu tumbuh pada berbagai macam kondisi di
lapangan (Sadjad, 1994). Perlakuan benih memberikan pengaruh yang tidak nyata
terhadap daya berkecambah (DB) dan Indeks Vigor (IV) benih. Daya berkecambah
dan Indeks Vigor (IV) dari benih invigorasi adalah 45% dan 35%, sedangkan daya
berkeceambah dan Indeks Vigor (IV) dari benih non invigorasi masing – masing adalah 65% dan 45%.
Gambar 4. Rerata Daya Berkecambah
(DB) benih kedelai invigorasi dan noninvigorasi
Gambar 5. Rerata Indeks Vigor (IV) benih kedelai
invigorasi dan noninvigorasi
Secara umum, dilihat
dari daya berkecambah dan indeks vigor benih yang diinvigorasi maupun tidak,
memiliki nilai persentase DB dan IV yang cukup rendah. Berdasasrkan hasil
penelitian Sucahyono et al 2013
kedelai hitam yang menggunakan benih invigorasi mempunyai daya berkecambah
sebesar 88,3% - 94,37% dan indeks vigor sebesar 77% - 86,37%. Persentase daya
kecambah dan indeks vigor ini lebih tinggi dibandingkan dengan persentase dari
percobaan yang dilakukan, bahkan nilai persentasenya dibawah 50%. Kemungkinan
hal ini terjadi karena faktor lain seperti faktor lingkungan yang kurang
optimum pada saat penanaman, sehingga tujuan dari tehnik invigorasi ini tidak
tercapai untuk meningkatkan mutu benihnya. Mutu fisiologis dipengaruhi oleh
kondisi tumbuh (tersedianya air, hara dan tidak adanya penyakit selama stadia
pengisian biji, tidak adanya hujan yang berlebihan selama pemasakan biji dampe
panen), metode pemanenan dan perontokkan yang mengakibatkan kerusakan mekanis,
serta kondisi simpan benih (Ilyas, 2012).
KESIMPULAN
Hasil panen menunjukkan benih
varietas anjasmoro yang diivigorasi tidak mempengaruhi hasil produksi dan vigor
benih sehingga benih yang diinvigorasi tidak mampu meningkatkan peforma pertumbuhan
dan produksi benih di lapangan. Produksi dan mutu benih tanaman kedelai yang
diinvigorasi maupun tidak diinvigorasi menunjukkan produksi hasil yang sama.
DAFTAR
PUSTAKA
AAK, 1991. Kedelai. Kanisius. Yogyakarta. 83 hlm.
Adisarwanto, 2008. Budidaya Kedelai Tropika. Penebar Swadaya. Jakarta. 76 hlm.
Asadi, B., M. Arsyad, H. Zahara dan
Darmijati, 1997. Pemuliaan Kedelai untuk Toleran Naungan dan Tumpangsari. Bul.
Agrobio. 1 (2):15-20. Bul. Agron.
35 (2): 96 – 102
Astawan, M. 2013.
Produksi Padi, Jagung, Dan Kedelai (Angka Ramalan I Tahun 2013).
Copeland, L.O
and M.B. McDonald. 1995. Principles of Seed Science and Technology. Kluwer
Academic Publisher. New York.
Erinnovita,
Sari. M dan Guntoro, D. 2008. Invigorasi Benih untuk Memperbaiki Perkecambahan
Kacang Panjang (Vigna unguiculata Hask. ssp. sesquipedalis) pada Cekaman
Salinitas. Bul. Agron. 36 (3): 214 – 220
Fachruddin, 2000. Budidaya kacang-kacangan. Kanisius, Yogyakarta
Farooq, M.,
S.M.A. Basra, A. Wahid. 2006a. Priming of field-sown rice enhances germination,
seedling establishment, allometry and yield. Plant Growth Regul. 49:285-294.
Farooq, M.,
S.M.A. Basra, R. Tabassum, I. Afzal. 2006b. Enhancing the performance of direct
seeded fine rice by seed priming. Plant Prod. Sci. 9:446-456.
Gardner
FP, Pearce RB, Mitchell RL, 1991. Physiology of crop plants. Diterjemahkan oleh
H. Susilo. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Hasanah, M.
2012. Peran mutu fisiologik benih dan pengembangan industry benih tanaman
pangan. Jurnal Litbang Pertanian 21(3) :84-91
Ilyas,
S. 2006. Review: Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable
seed quality. Bul. Agron. 34:124-132.
Ilyas,
S., G.A.K. Sutariati, F.C. Suwarno, Sudarsono. 2002. Matriconditioning improve
the quality and protein level of medium vigor hot pepper seed. Seed Technol.
24:65-75.
Jyoti
and C. P. Malik. 2013. Seed Deterioration.
International Journal of Life
Sciences Biotechnology and
Nasution,
M. 2004. Diversifikasi Titik Kritis Pembangunan Pertanian Indonesia: Pertanian
Mandiri. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pharma
Research. 2(3):374-385. Tatipata, A. 2008. Pengaruh Kadar Air Awal, Kemasan dan
Lama Simpan Terhadap Protein Membran dalam Mitokondria Benih Kedelai. Buletin Agronomi. 36(1): 8-16.
Prabha,
D and J. S. Chauhan. 2014. Physiological Seed Enhancement Techniques. Popular Kheti. 2(1):162-163.
Rusmin,
D. 2007. Peningkatkan Viabilitas Benih Jambu Mete (Anacardium occidentale L.)
Melalui Invigorasi. Jurnal Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat.
19(1):56-63
Sadjad, S. 1994.
Kuantifikasi Metabolisme Benih. PT. Grasindo. Jakarta.
Sucahyono., D, Sari., M, Surahman,
M dan Ilyas, S. 2013. Pengaruh Perlakuan
Invigorasi pada Benih Kedelai Hitam (Glycine soja) terhadap
Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, dan Hasil. J. Agron. Indonesia 41 (2) : 126 –
132
Warisno
dan Kres Dahana, 2010. Meraup Untung dari Olahan Kedelai. AgroMedia Pustaka.
Jakarta.
Winarto A. et
al., 2002. Peningkatan Produktifitas, Kualitas dan Efisiensi Sistem Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Menuju Ketahanan Pangan dan Agribisnis.